Pada suatu
hari khalifah Umar bin Khattab sedang mengadakan kunjungan resmi kenegaraan.
Kebetulan ditengah jalan rombongan khalifah itu bertemu seorang wanita tua yang
miskin bernama Khawalah binti Tsa’labah.
Didepan
wanita itu khalifah Umar langsung berlutut dan berjam-jam khalifah berbicara
dengannya. Sehingga para pengawal dibuatnya bosan menunggu.
“wahai
Amirul Mukminin, ayo kita lekas pergi. Untuk apa berbincang-bincang dengan
perempuan tua itu?” seru para pengawal dengan nada menghina Khawalah, si
perempuan tau itu.
Ucapan para
pengawal itu membuat Khalifah Umar menjadi murka. Dengan kemarahan yang
meluap-luap, khalifah menantang para pengawal itu berkelahi, jika mereka tidak
mau menarik kembali kata-katanya dan meminta maaf kepada Khawalah.
Setelah para
pengawal itu sudah meminta maaf dan khalifah Umar telah pergi meninggalkan
Khawalah. Khalifah Umar berkata “ketahuilah wahai para pengawal. Rasulullah
saja selalu datang kepada perempuan tua itu untuk bermusyawarah, mengapa hanya
seorang Umar bin Khattab dan anak buahnya yang hina tidak mau tawadlu’ dan
hormat kepadanya. Ia merupakan seorang sahabat Rasulullah yang besar sekali jasa
dan perjuangannya”.
Khawalah
binti Tsa’labah adalah seorang sahabat Rasulullah yang telah berhasil
mengajukan gugat kepada Allah ketika suami Khawalah bersumpah Dhihar
,maka terjadilah permasalahan antara keduanya.
Aus bin
Shamit, suami Khawalah mengatakan kepada istrinya “kamu bagiku sudah seperti
punggung ibuku”
Maksud
ucapan itu ialah, bahwa Aus bin Shamit tidak boleh lagi menggauli Khawalah
sebagaimana lazimnya sepasang suami istri. Menurut adat jahiliyah kalimat
seperti itu (Dhihar) sama dengan mentalak istri, yang berarti haram untuk
digauli.
Oleh karna
itu, Khawalah minta penjelasan kepada Rasulullah. Namun dijawab oleh
Rasulullah, bahwa dalam masalah itu Allah belum memberikan keputusan. Demi
mendengar keterangan Rasulullah, Khalawah merasa bimbang dan ragu. Pasangan
suami istri itu belum dikaruniai seorang anak, padahal keadaan mereka sudah
tua. Oleh karna itu, Khawalah selalu mendesak kepada Rasulullah untuk
mendapatkan keringanan hukum, agar dapat bersanding terus dengan suaminya,
tidak bercerai karna keduanya masih saling mencintai.
Karna
Rasulullah belum juga dapat memberikan keterangan hukum yang pasti, maka Khawalah
langsung ,mengajukan gugatan itu atau mengadu kepada Allah. Maka turunlah ayat
yang berkaitan dengan permohonan Khawalah.
“sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan
kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah
mendengar tanya jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (Q.S.
A-l-Mujadalah:1)
Sejak saat
itulah islam memiliki garis ketentuan masalah Dhihar yang pada dasarnya
dibolehkan ruju’ kembali, dengan ketentuan membayar kafarat yang telah
ditentukan oleh islam.
Demikianlah
perjuangan Khawalah binti Tsa’labah serta keistimewaannya. Seorang wanita yang
berani mengajukan tuntutan atas haknya kepada Allah, dan itu pun diterima
dengan baik, yang sekaligus merubah adat jahiliyah menuju syari’at islam yang
lebih sempurna.
Oleh karna
itu, demikian Rasulullah sering bermusyawarah dengan Khawalah Binti Tsa’labah.
Dan khalifah Umar bin Khattab pun sangat Tawadlu’ dan hormat kepadanya,
demikian juga sahabat yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar