Dalam menjaga kesinambungan kekhususan tali kefamilian dari
keturunan Rasulullah SAW, bagi lelakinya (sayyid/syarif) tidaklah begitu
bermasalah, karena nasab anak-anaknya akan bertalian kepadanya, ke
kakeknya dan seterusnya hingga sampai ke Sayyidina Husein atau Sayyidina Hasan
radhiyallahu'anhuma.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mereka berdua adalah anak
kesayangan dari Sayyidatina Fathimah Az-Zahra' radhiyallahu'anha yang bernasab
kepada baginda Rasulullah SAW, sedangkan ayah mereka berdua adalah Al-Imam 'Ali
karromallahu wajhah suami dari Sayyidah Fathimah Az-Zahra'.
Nah...! yang menjadi masalah adalah: Bagaimana dengan kaum
wanita (sayyidah/syarifah) dari keturunan Rasulullah SAW, bila mereka menikah
dengan seorang lelaki ….? Tentu, sebagai jawaban adalah tergantung pada ayah
dari anak-anak hasil perkawinan mereka (kepada suami yang telah menjadi jodoh
sayyidah atau syarifah tersebut). Oleh karenanya suami mereka itu haruslah yang
sekufu (sebanding/sederajat dalam hal nasab dengan mereka), sebagai penerapan
kafa'ah dalam penjodohannya.
Hal ini adalah merupakan hak dan kewajiban bagi kaum wanita
keturunan Rasulullah SAW, serta wali-walinya dalam usaha menjaga nasab yang
berhubungan dengan Beliau SAW. Untuk menjodohkan atau menikahkan antara seorang
pria dengan wanita bukanlah sekedar rasa cinta antara dua jenis saja yang
dititik-beratkan, akan tetapi cinta itu tumbuh karena diawali dengan cinta
terhadap keridhoan Allah SWT dan Rasul-Nya. Yakni tidak menyalahi, mengganggu
atau melanggar perintah dan larangan Allah SWT, apalagi bermaksiat atau
mengkhianati wasiat yang diamanatkan bagi semua manusia.
Jalinan cinta yang tumbuh antara dua insan atas dasar ikhlas dan
cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta bertaqwa, akan tumbuh rasa cinta
yang sejati. Cinta dan benci karena Allah SWT akan menjadi tali pengikat
keimanan dan merupakan seutama-utamanya amal.
Rasulullah SAW bersabda :
"Amal yang sangat utama adalah cinta dan benci karena Allah
SWT". (HR. Abu Daud dari Abu Dzar). Kecintaan seorang hamba kepada Allah
SWT, akan dijadikannya sebagai motor dan indikator dalam mereaksikan cintanya
kepada yang selain Allah SWT.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW:
"Cintailah Allah SWT karena Ia selalu memberi kamu nikmat-
nikmat-Nya. Dan cintailah aku (Nabi SAW) karena cintamu kepada Allah SWT dan
cintailah keluargaku karena cintamu kepadaku." (HR. Turdmudzi dari Ibnu
'Abbas).
Dan masih banyak lagi hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan perlu
dan wajib bagi ummatnya mencintai Rasulullah SAW dan Ahlul-Baitnya sebagai
tanda cinta mereka kepada Allah SWT. Cinta seorang lelaki "Akhwal"
(lelaki yang tidak bersambung nasab kepada Rasulullah SAW) terhadap keturunan
Ahlul Bait Nabi SAW, mestinya bukan ditunjukkan dengan cara menikahi wanita
Ahlul Bait tersebut, apalagi dengan alasan bahwa ia mencintai dan sengaja
memilih menikahi mereka karena menjalani perintah Rasulullah SAW seperti sabda
Beliau :
"Hendaklah menikahi wanita yang baik nasabnya "atau
"Dinikahi wanita karena nasabnya…." Dan lain-lainnya. Sungguh! bukan
begini sebenarnya cara menampakkan cinta dan ta'at kepada baginda Rasulullah
SAW dan Ahlul-Baitnya, sungguh ! sekali lagi bukan. Tidaklah mungkin dapat
dikatakan cinta yang sebenarnya atau sesuai dengan apa yang dimaksudkan Nabi
SAW, juga sangat keliru kalau yang demikian itu guna melaksanakan wasiat Beliau
SAW, dengan melihat dari satu sudut saja suatu hadits atau dapat disebut
melihat dengan sebelah mata. Landasan perkawinan yang demikian sungguh sangat
timpang dan pincang. Ini hanya merupakan dorongan hawa nafsu belaka. Bahkan
andai dihadapkan pada amanah Nabi SAW, tentu tampak sebagai suatu kesalahan
yang disengaja, tidak wajar dan niatan hati yang tidak baik.
Dapat dilihat bahwa ia melaksanakan perintah Nabi SAW, dengan
menepis keberadaan hadits-hadits lain, sehingga dalam pijakan hukum tidak
dibedakan antara makna keta'atan dengan makna cinta. Lelaki yang tidak sekufu
dengan wanita yang bernasabkan kepada Rasulullah SAW (sayyidah/syarifah), lalu
ia menikah dengannya, sama artinya ia tidak memiliki rasa ta'adzdzom
(mengagungkan) dan rasa hormat kepada Baginda Nabi SAW.
Terhapuslah arti kecintaan kepada Beliau SAW, sebab tindakannya
mengganggu, merusak dan memutuskan hubungan nasab syarifah yang ia kawini
dengan Nabi SAW, apalagi bila berbuat lebih dari itu seperti menghina,
menyakiti, menganiaya dan lain sebagainya, tentu tuntutan Nabi SAW dan hukuman
Allah SWT segera akan menimpanya.
Pengakuan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya haruslah mematuhi
dan mengikuti yang diperintahkan dengan tidak sedikitpun ada niatan atau tindakan
yang menyalahi. Allah SWT, berfirman:
"Katakanlah (hai Muhammad), jika kalian benar-benar
mencintai Allah SWT, maka kalian ikutilah aku. Niscaya Allah SWT akan mencintai
dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS. Ali'Imran:31).
Source: http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar