Minggu, 13 Juli 2014

Perbedaan Antara Masjid dan Musholla



Di zaman rosulullah yang dinamakan musholla adalah tanah lapang yg di jadikan tempat sholat 'ied. di riwayatkan bahwa rosulullah stiap sholat ied dengan jama'ah di MUSHOLLA (yang dimaksud adalah tanah lapang itulah tempat sholat ied) kecuali hanya sekali dimasjid sebab hujan.

Oleh karna itu jumhur ulama madzhab menyunahkan sholat ied di tempat yang luas bukan dimasjid. namun imam syafi'i berpendapat bahwa tetap sunah di masjid. alasannya pada waktu itu masjid trlalu kecil,tidak muat untuk menampung jamaah hingga pelaksanaan sholat ied selalu di laksanakan di padang luas (tertulis dlm lafadnya riwayatnya adalah MUSHOLLA).

Sedangkan masjid adalah sebuah bangunan yg di hususkan untuk hal-hal ibadah saja, khususnya untuk berjamaah & lebih khusus lagi untuk jum'atan hingga terjadi batasan-batasan hukum di dalamnya.

Jadi sebnarnya musholla itu lebih luas (tanpa bangunan) dibandingkan masjid. namun lumrahnya di negara kita justru musholla lebih kecil dari pada masjid. walau apapun juga bangunan-bangunan kecil di kampung-kampung tiada salah juga di artikan musholla karna makna harfiahnya musholla adalah tempat sholat, jadi masjid pun mengandung makna musholla juga.

 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) إلى أن قال: فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى شَرْعِيَّةِ الْخُرُوجِ إلَى الْمُصَلَّى ، وَالْمُتَبَادَرُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إلَى مَوْضِعٍ غَيْرِ مَسْجِدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ كَذَلِكَ فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوفٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ .

Artinya : “Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha keluar ke mushalla (Al-Hadits).

Hadits ini sebagai dalil disyari’atkannya keluar menuju/ke mushalla. Dari hadits ini pula dengan mudah difahami bahwa keluarnya Nabi itu ke sebuah tempat yang bukan masjid dan memang benar demikian, karena sesungguhnya mushallanya Nabi itu berupa suatu tempat yang telah diketahui oleh banyak orang yang mana jarak antara mushalla dan pintu masjidnya Nabi ada seribu dzira’ (± 500 m.)

*Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim   عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَ إلى المصلى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ في العيدين وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. (متفق عليه)

Artinya: Dari Ummi 'Athiyah, dia berkata: kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengajak para gadis dan perempuan yang sedang haidl keluar/pergi ke mushalla (tempat Shalat) pada hari raya, agar mereka menyaksikan hal-hal yang baik dan do’a kaum muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah memerintahkan kamu megeluarkan gadis yang menanjak dewasa, wanita-wanita yang haid dan gadis-gadis yang dipinggit pada Hari Raya Iedul Fitri dan Hari Raya Iedul Adha. Wanita yang sedang haid dipisahkan dari shalat utnuk menyaksikan kebajikan dan seruan kaum muslimin. Namun demikian terdapat Hadits yang menerangkan bahwa bila hari hujan, Nabi shalat di masjid.

Hadits Nabi riwayat Abu Daud dan Abu Hurairah: "Sesungguhnya mereka di timpa hujan pada Hari Raya Ied. maka Nabi shalat di masjid."

Hadits diatas ada yang menilai hasan, tetapi juga ada yang menilai lemah. Sekalipun demikian para ulama dalam pembahasannya berbeda pendapat, manakah yang lebih afdhal, shalat di lapangan atau di masjid.

As-Syafi'i menyatakan yang bahwa jika masjid itu cukup luas shalat di masjid dan tak perlu keluar rumah menuju lapangan. Dalam hal ini seolah-olah niat pergi ke lapangan ialah usaha menampung jamaah sebanyak mungkin. Bila shalat di masjid itu lebih sudah dapat memenuhi tujuan tersebut, maka shalat di masjid lebih afdal. Sedang menurut Imam Hanafiyah dan Malik, bahwa  shalat di lapangan lebih afdhal meskipun ada di tempat itu masjid yang luas. Alasannya ialah Nabi tidak pernah shalat Ied di masjid terkecuali ada halangan hujan. Jadi shalat Ied di lapangan sesuai sunnah.

Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz I hal. 351 : الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : فِعْلُهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَل لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلزِّحَامِ وَحِيْنَئِذٍ يُسَنُّ الْخُرُوْجُ لِلصَّحْرَاءِ.

Artinya : “Golongan madzhab Syafi’i berpendapat :  "melaksanakan shalat id di masjid itu lebih utama karena masjid itu tempat yang mulia, kecuali karena udzur seperti sempitnya masjid, maka hukumnya makruh melaksanakannya di masjid karena berdesakan. Jika demikian halnya, maka disunnatkan keluar ke shahra".

perhatikan dalam hadits yang pertama pada lafadz ILAL_MUSHOLLAA. Jadi secara ishtilah masjid & musholla itu berbeda. i'tikaf itu sunah dimasjid bukan di musholla. Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat salat; langgar; surau; (2) tikar salat; sajadah. Silahkan rujuk KBBI. Definisi musala sebagai langgar atau surau adalah definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat indonesia, dimana arti langgar (silahkan rujuk KBBI) adalah : masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; surau; musala. Demikian arti musala yang bisa digunakan untuk merujuk sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang khusus tempat shalat di suatu gedung , kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah. Kata mushalla salah satunya terdapat dalam al-Baqarah 125:

 وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى


Yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah kata 'maqam' dan 'mushalla'. Banyak tafsiran mengenai kata ini dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara keseluruhan. Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan untuk shalat. Sedangkan arti dari masjid sebagaimana dikatakan oleh al-zujaj yang dinukil dalam kamus lisan al-arab (lihat entry kata sa-ja-da) : setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah adalah masjid, bukankan Rasul bersabda , "telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".

وقال الزجاج: كل موضع يتعبد فيه فهو مسجَِد، أَلا ترى أَن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال: جعلت لي الأَرض مسجداً وطهوراً.

Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunya arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun, penggunaan kata masjid dalam hukum (fikih) mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam mushalla sebagai tempat shalat secara umum. Apakah makna masjid itu meliputi essensinya sebagai tempat melaksanakan jama'ah jum'at, tempat yang diperbolehkan i'tikaf di dalamnya, tempat yang mana orang junub tidak diperbolehkan berdiam di dalamnya ? Atau hanya sekadar konsekuensi dari nama (asma') yang disandang, sedangkan essensi (musammiyat)nya tetaplah sebagai tempat shalat ? Jika mushalla dan masjid mempunyai essensi yang sama, maka bukan soal merubah mushala menjadi masjid, bukankah "al-ibrah bi al-musammiyat, la bi al-asma" - Ibrah yang dipegang adalah essensi , bukan nama.

Konsekuensi dari suatu nama bukan termasuk kedalam essensi dari nama itu. Seperti tidak boleh jualan roti ditempat potong rambut, sebaliknya tidak boleh potong rambut di toko roti, meskipun essensi keduanya adalah sama yaitu tempat usaha. Kesimpulan saya, mengubah mushala menjadi masjid, dengan syarat waqif mempersyaratkan satu kemashlahatan yang dipercayakan kepada nadhir , dan nadhir melihat satu kemaslahatan yang benar-benar mendesak, maka itu boleh. Sebaliknya, mengubah masjid menjadi mushala tanpa adanya mashlahat yang jelas dan mendesak dengan pertimbangan yang ketat itu tidak boleh. WALLAHU a'lam.  

Dewan Masjid Assalaam Kembali saya ambilkan jawaban Imam Ghazali :   Fatwa Ulama'  فضيلة الشيخ وحيد بن عبدالسلام بن بالي  ما الفرق بين المسجد والمصلى ؟ لا فرق بين المسجد والمصلى، إلا أن بعض الفقهاء قالوا: المصلى هو ما يُتخذ في البيت من غرفة و نحو ذلك يصلي فيها الرجل قيام الليل وتصلي زوجته وأولاده فيها فيكون المكان نظيفاً ، فيقال أُتخذ من البيت مصلى

Sebenarnya tidak ada perbedaan antara masjid dengan mushola, kecuali sebagian fuqoha’ mereka menjelaskan bahwa mushola adalah suatu yang dijadikan tempat (sholat), yang ada di dalam rumah dari ruangan (kamar) dan yang semisal dengan hal itu, yang seseorang sholat malam di ruangan tersebut dan istri serta anaknya juga sholat di ruangan tersebut, maka mereka menkondisikan tempat tersebut agar tetap bersih, dan menjadikan ruangan dari rumah itu sebagai tempat sholat.

 أما المسجد فهو مكان يصلي الناس فيه وتُقام فيه صلاة الجمعة كالمساجد الصغار، أما الجامع فهو مسجد كبير جداً يجتمع اهل الحي فيه ليصلوا الجمعة ويصلوا فيه الصلوات الخمس

Adapun Masjid, maka dia adalah tempat dimana orang-orang secara umum melaksanakan sholat di dalamnya, dan ditegakkan di dalamnya sholat jama’ah (bisa juga sholat jumat), seperti masjid-masjid yang punya ukuran yang kecil. Adapun masjid jami’ maka dia adalah masjid yang mempunyai ukuran yang sangat besar sehingga orang yang ada pada wilayah tersebut bisa berkumpul di dalamnya untuk melaksanakan sholat jum’at dan melaksanakan sholat-sholat lima waktu,

 ونقل الزركشي : عن الغزالي انه سىٔل عن المصلى الذي بني لصلاة العيد خارج البلد فقال : لا يثبت له حكم المسجد فى الاعتكاف ومكث الجنب وغيره من الاحكام، لأن المسجد هو الذي أعد لرواتب الصلاة وعين لها حتى لا ينتفع به فى غيرها، وموضع الصلاة العيد معد للاجتماعات ولنزول القوافل ولركوب الدواب ولعب الصبيان، ولم تجر عادة السلف بمنع شيء من ذالك فيه، ولو اعتقدوه مسجدا لصانوه عن هذه الاسباب ولقصد لاقامة ساىٔر الصلوات، وصلاة العيد تطوع وهو لا يكثر تكرره بل يبنى لقصد الاجتماع، والصلاة تقع فيه بالتبع

Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan. Maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum-hukum lainnya.

“KARENA MASJID ADALAH TEMPAT YANG DISIAPKAN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN DAN DITENTUKAN UNTUK SHALAT HINGGA TIDAK DIPAKAI UNTUK KEPENTINGAN LAINNYA. SEDANG TEMPAT SHALAT IED DIPERUNTUKKAN UNTUK PERTEMUAN2 DAN MENURUNKAN ORANG DARI PERJALANAN DAN TEMPAT NAIK KENDARAAN DAN TEMPAT MAIN ANAK-ANAK.”
dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied.

JIKALAU MEREKA MENGANGGAPNYA MASJID MAKA AKAN DIJAGA DARI SEBAB2 TERSEBUT DAN ADA NIAT UNTUK MELAKUKAN SEMUA SHALAT DISANA.

dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang-orang sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan.

Dari jawaban Imam Ghazali bisa ditarik kesimpulan : JIKA MUSHOLLA DIBANGUN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN, PERUNTUKAN UTAMANYA UNTUK SHALAT DAN TIDAK DIPAKAI UNTUK HAL LAIN YANG TAK SEJALAN, DIJAGA DARI HAL-HAL YANG TIDAK SESUAI DENGAN FUNGSI MASJID. MAKA....PADA TEMPAT TERSEBUT BERLAKU HUKUM2 MASJID.

alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya musholla.

Source: http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar